Surat
Yohanes Gabriel Perboyre Tahun 1835
Pengantar
Yohanes
Gabriel Perboyre adalah seorang misionaris Lazarist (Congregatio
Missionis) yang mati sebagai martir di China pada 11 September 1840.
Pada 2 Juni 1996 dia dinyatakan sebagai orang suci oleh Paus Yohanes
Paulus II. Ia lahir di Le Puech dekat Montgesty, Perancis, pada 1802.
Pada 23 September 1826 ia ditahbiskan menjadi imam di Paris. Setelah
beberapa tahun bekerja di seminari, dia mengajukan diri untuk menjadi
misionaris di China. Pada tahun 1835, dalam perjalanannya dari
Perancis menuju Macao, ia singgah di Jawa karena harus berganti
kapal. Dari pelabuhan Le Havre tanggal 21 Maret dia menumpang kapal
Edmund dan tiba di Batavia tanggal 26 Juni. Dari Batavia dia harus
pindah ke kapal Royal George tanggal 5 Juli dengan tujuan Macao,
tetapi kapal harus singgah dulu selama 3 minggu di Surabaya, dari
tanggal 14 Juli hingga 7 Agustus 1835.
Selama 3 minggu di Surabaya dia sempat mengunjungi gereja katolik yang pada waktu itu di Roomsch KerkStraat (Jl. Cendrawasih), dan merayakan misa hari-hari Minggu di situ. Dia bahkan bercerita pernah makan bersama pastor setempat pada kesempatan hari pesta St. Vinsensius, yang pada masa itu (1737-1969) dirayakan pada tanggal 19 Juli. "Pada hari St. Vinsensius, setelah tinggal di gereja hingga tengah hari, kami makan bersama dengan pastor". Pastor paroki yang dimaksud kiranya adalah Adrianus Thijssen, yang bertugas di Surabaya pada 1827-1844.
Para
misionaris Lazarist yang mengembangkan gereja katolik di Keuskupan
Surabaya sejak 1923 kerap mengidentifikasikan diri mereka sebagai
mengikuti jejak misi sang martir Yohanes Gabriel Perboyre. Dan karena
itu nama Yohanes Gabriel juga dipakai di sejumlah institusi di
Keuskupan Surabaya, seperti nama yayasan, sekolah, dan sebagainya.
Berikut adalah bagian dari surat-surat Yohanes Gabriel Perboyre, baik
yang ditulisnya di Surabaya, maupun tentang gereja katolik di
Surabaya dan Jawa pada tahun 1835.
Surat
kepada pamannya; Surabaya 24 Juli 1835
Waktu itu tanggal 23 Juni,
kami memasuki Selat Sunda. Saya tidak dapat melukiskan perasaan kami
ketika memandangi pulau-pulau ini yang dipenuhi pohon-pohon dengan
buah-buahnya yang hampir-hampir bisa kami jangkau; menebarkan aroma
kuat dan manis dari cinnamon (kayu manis); membuat kami merasa bahwa
hidup baru sedang merasuk ke dalam diri kami. Esoknya, pada pesta St.
Yohanes Pembaptis, pelindung saya, saya berdoa misa semudah
melakukannya di daratan, yaitu di atas lautan yang berwarna zaitun
dan selalu tenang. Kami berlayar maju dengan hati-hati di antara
sejumlah pulau kecil, lebih-lebih di antara karang-karang, yang
ditunjukkan kepada para pelaut dengan banyak tanda silang yang timbul
di semua sisi di atas permukaan air. Akhirnya, pada tanggal 26 kami
bersandar di pelabuhan Batavia.
Kami menghabiskan tiga hari
berikutnya dan juga hari-hari Minggu dan pesta St. Petrus di kediaman
Prefek Apostolik, dimana pastor tinggal. Segera setelah kami kembali
ke kapal, kami harus berkemas seperlunya untuk ganti kapal. Pindah
dari satu kapal ke kapal yang lain yang mestinya diberi waktu hanya
satu jam, membutuhkan waktu tiga jam; itupun saya harus bekerja
seperti seorang pelaut profesional. Perahu panjang, dimana saya
bersama empat atau lima orang, dan mengangkut barang-barang terberat
dari bagasi bawaan kami, terbawa arus begitu cepatnya sehingga kami
tidak dapat menggunakan layar melainkan harus menggulungnya, karena
angin bertiup mengarah langsung melawan kami; dengan sia-sia kami
berusaha melawan amukan gelombang. Dan sesungguhnya kami malah
terdorong mundur jauh ketimbang maju. Malam tiba dan laut
bergelombang sementara kami mendayung dengan sia-sia. Yang bisa kami
lakukan tak lebih dari melewati beberapa gelombang panjang di tengah
kegelapan, melelahkan, dan kami nyaris putus asa, hingga akhirnya
muncullah dua orang pendayung baru dengan dua perahu yang ditempatkan
berjajar di depan perahu kami, dan diikat dengan tambang, seperti
seekor kuda penyelamat diikatkan pada sebuah kereta. Pertolongan ini
dengan segera membawa kami dengan selamat menuju ke kapal yang siap
menerima kami. Saya segera berganti baju, yang basah kuyup oleh
keringat dan air laut, setelah kerja yang melelahkan memompa dan
memegang kemudi. Pada tanggal 5 Juli kami berangkat dengan kapal
“Royal George” yang kami kira akan membawa kami ke China, tetapi
yang diharuskan, sebagaimana kapal “Edmund”, untuk pergi
mengambil barang di ujung timur Jawa.
Kami berada di sini di
pelabuhan Surabaya sejak tanggal 14. Kami akan berangkat pada tanggal
10 Agustus. Kami nanti harus kembali ke rute perjalanan kami, dua
kali menyusuri pantai barat Pulau Borneo; kemungkinan akan tiba di
Macao menjelang Pesta Natal. Sementara menunggu kami harus menghadapi
penundaan ini dengan sabar dan berusaha memanfaatkan waktu kami. Kami
pergi ke daratan pada hari minggu saja, untuk berdoa misa. Pada hari
St. Vinsensius, setelah tinggal di gereja sampai tengah hari, kami
makan bersama dengan pastor.
Di seluruh Pulau Jawa hanya
ada empat imam, semuanya orang Belanda. Tidak ada imam sama sekali di
pulau-pulau yang lain sekitarnya. Semua pulau ini dihuni oleh orang
Melayu yang mengikuti agama Islam, paling tidak di tempat-tempat
tertentu. Sekarang ini sedang musim dingin di negeri ini, namun musim
dingin disini serasa musim-musim panas di Montauban.
Surat
kepada salah seorang Asisten Jenderal CM; Macao, 9 September 1835
Romo
dan Konfrater yang terhormat,
Inilah aku: inilah
kata-kata yang harus saya sampaikan kepada Anda sebagai tanda pertama
bahwa saya hidup, di Macao. Ya, inilah aku, dan terpujilah Tuhan kita
yang telah mengantarkan saya ke sini!… “Jika aku mengepakkan
sayapku di pagi hari, dan tinggal di ujung samudera, bahkan di sana
pun tangan-Mu menuntun aku dan tangan kanan-Mu memegang aku” (Mzm.
138, 9-10). Dari surat yang saya tulis kepada Superior Jenderal, Anda
tahu bahwa sampai pada saat itu perjalanan kami pada umumnya
menyenangkan. Setelahnya juga tidak kurang dari itu. Kami tinggal
tiga minggu di pelabuhan Surabaya. Penundaan ini bagi kami serasa
seperti sebuah liburan yang di negeri itu diperuntukkan bagi orang
yang sudah satu tahun bekerja keras. Panasnya cuaca yang membakar di
Jawa diiringi dengan angin sepoi-sepoi dari pegunungan di sekitarnya.
Walau pun kami disibukkan dengan belajar dan berdoa dari jam lima
atau enam pagi hingga jam sepuluh malam, umumnya kami merasa lebih
nyaman di kapal baru daripada di kapal sebelumnya, karena kami tidak
terganggu oleh gelombang ombak; setiap hari kami mendapatkan kekuatan
baru untuk meneruskan perjalanan kami. Kami pergi ke kota untuk
berdoa misa sesering mungkin; yaitu sekali atau dua kali seminggu.
Kadangkala, meskipun jarang, kami berjalan-jalan di sepanjang pantai
Jawa dan Madura.
Kami meninggalkan Surabaya
pada tanggal 7 Agustus. Kami diharuskan untuk membuang jangkar empat
atau lima “league” (sekitar 12-15 mil) dari sana, menunggu sampai
kembalinya air pasang, karena kapal terbenam dalam lumpur sedalam
beberapa kaki. Keesokan harinya, setelah kami dapat meneruskan
kembali perjalanan, kemudi memaksa kami meluncur mengarah ke tepi.
Untungnya sang kapten segera menyesuaikan layar-layar sehingga
mendorong kapal untuk mundur dan membelokkannya ke arah yang lain.
Dalam bahaya-bahaya seperti
ini, kami berhutang keselamatan kami kepada keterampilan sang
komandan dan kekuatan angin, atau lebih tepat, kepada Penyelenggaraan
Ilahi yang mengatur segalanya, dan yang pada kedatangan-Nya yang
kedua akan menghakimi dengan adil dan belas kasih. Musim angin yang
berhembus dari tenggara berlanjut sepanjang bulan Agustus di Laut
China. Hal ini sangat menguntungkan pelayaran kami, dan pada tanggal
29, kami akhirnya tiba di Macao.
penerjemah: ev. e. prasetyo cm
Sumber:
Life
of Blessed John Gabriel Perboyre, Priest of the Congregation of the
Mission.
London: Forgotten Books, 2013. pp. 128-132. (Original work published
1894)
ev.e.prasetyo
cm
No comments:
Post a Comment