MELACAK
USIA GEREJA KATOLIK DI KOTA SURABAYA
"Ibu
yang melahirkan dan membesarkan anak-anak
lahir
dalam pingitan benteng kota
tiada
air bersih, panas, dan selalu dirubung nyamuk-nyamuk
200
tahun yang lalu... dan terlupa" (puzhongwen)
Bermula
ketika pada tahun 2010 Yayasan Lazaris hendak mengadakan acara
pengutusan peserta program animasi misi ke Kalbar dan Kalsel untuk
para siswa dan guru. Kapan sebaiknya acara itu dilakukan? Kebetulan
teringat bahwa tanggal 12 Juli 1810 adalah tanggal kedatangan pastor
misionaris pertama di Surabaya, yaitu pastor Henricus Waanders. Serta
merta tersadar pula bahwa gereja di Surabaya ternyata sudah berusia
200 tahun. Bukankah ini merupakan peristiwa penting yang patut
disyukuri dan dirayakan? Maka tanggal 12 Juli diputuskan sebagai
tanggal pengutusan. Semula direncanakan bahwa acara dilakukan di SMAK
St. Louis I. Tetapi karena aspek historis misi Surabaya ingin
ditekankan untuk membangun ingatan dan kesadaran misi, maka tempat
dipindahkan ke Gatotan, yang secara historis tercatat sebagai tempat
tinggal pertama misionaris pada tahun 1810. Acara dilakukan secara
sederhana di SDK St.Aloysius, Jl.Gatotan: perayaan ekaristi
konselebrasi beberapa romo yang berkarya di Yayasan Lazaris dan di
Kepanjen, pengutusan dan berkat untuk para siswa dan guru peserta
program animasi misi, pemaknaan 200 tahun misi gereja di kota
Surabaya, dan pemotongan tumpeng untuk makan bersama.
Yang
kemudian menjadi menarik ialah bahwa Paroki Kelahiran Santa Perawan
Maria (Kepanjen) Surabaya, "paroki induk" untuk bukan saja
seluruh Jawa Timur, melainkan juga untuk Indonesia Bagian Timur, pada
tahun 2010 itu sedang menyiapkan pesta ulang tahun paroki yang
ke-195. Pertanyaan yang muncul ialah mengapa bukan perayaan yang
ke-200? Apa yang menjadi dasar bagi paroki "Kepanjen" untuk
merayakan pesta paroki yang ke-195, dan bukan yang ke-200?
Dasar
Penetapan Ulangtahun Gereja dan Paroki
Di
keuskupan-keuskupan, paroki-paroki, stasi-stasi, sudah umum dilakukan
peringatan-peringatan, misalnya:
- Peringatan mulai hadirnya gereja di suatu wilayah (Negara, kota)
- Peringatan berdirinya/dibukanya stasi (pos karya misioner gereja) atau paroki secara resmi
- Peringatan berdirinya/ diberkatinya/ dipakainya gedung/ bangunan gereja secara resmi
Pada
umumnya peringatan-peringatan itu ditetapkan berdasarkan, antara
lain:
- Tanggal/tahun pendirian stasi, permulaan pelayanan suatu wilayah sebagai stasi
- Tanggal/tahun dilakukannya pembaptisan untuk pertama kalinya
- Tanggal/tahun pemberkatan/peresmian mulai dipakainya gedung gereja
- Untuk sebuah keuskupan, peringatan ulangtahun biasanya didasarkan pada tanggal/tahun pendiriannya sebagai sebuah Prefektur Apostolik
- Untuk sebuah “paroki induk”, peringatan ulangtahun biasanya didasarkan pada tanggal/tahun pendiriannya sebagai sebuah stasi. Sementara untuk “paroki yang lain” (yang dilahirkan oleh “paroki induk”) peringatan ulangtahun didasarkan pada penetapannya sebagai sebuah paroki.
Sebuah
gereja atau paroki dapat disebut sebagai "gereja/paroki induk",
bila ditemukan indikasi berikut:
- Dalam suatu wilayah gerejani usianya paling tua dibanding gereja-gereja/paroki-paroki lain
- Induk dari lahirnya gereja/paroki yang lain. (Yang melahirkan paroki-paroki lain)
- Dibuka/didirikan oleh misionaris asing (seperti umumnya di Asia atau tanah misi yang lain) yang dengan penugasan resmi datang pertama kali secara menetap dan memberikan pelayanan gerejani secara terus-menerus/berkelanjutan (ekaristi dirayakan secara tetap dan terus-menerus/berkelanjutan)
- Baptisan untuk wilayah pelayanan yang berada dalam kewenangan administratifnya dicatat secara resmi dalam Registrum Baptismale (Buku Induk Baptis), sejak pertama kali dilakukan pembaptisan
Suatu
stasi yang secara independen (terpisah dari stasi lain) pertama kali
dibuka di wilayah misi atau "di masa awal misi" sekaligus
berfungsi sebagai paroki (paroki induk), bila:
- Adanya penugasan resmi imam misionaris yang tinggal menetap, berkelanjutan, dan berfungsi sebagai pastor di wilayah itu
- Dimulainya pelayanan ekaristi (dan sakramen-sakramen lain) secara teratur oleh pastor
- Dimulainya pencatatan pembaptisan dalam buku induk baptis dan disimpan di stasi tersebut
Pada
awal abad XIX, di wilayah Hindia Belanda dibukalah tiga stasi (pos
misi) terpisah di tiga kota yang memiliki populasi orang Eropa
terbanyak di Jawa pada masa itu, yaitu:
- Stasi Batavia, yang kemudian menjadi Paroki St. Maria Diangkat Ke Surga, Katedral Jakarta, mulai dilayani pastor sejak April 1808. [Tetapi sebagai Prefektur Apostolik yang meliputi seluruh wilayah Hindia Belanda, dan berpusat di Batavia sudah ditetapkan pada 8 Mei 1807]
- Stasi Semarang, yang kemudian menjadi Paroki St. Yusup, Gedangan Semarang, mulai dilayani pastor Desember 1808.
- Stasi Surabaya, yang kemudian menjadi Paroki Kelahiran St. Perawan Maria Surabaya, mulai dilayani pastor sejak Juli 1810.
Kita
dapat membandingkan peringatan ulangtahun ke-200 gereja di Jakarta
dan Semarang, yang mulai dilayani dalam tahun yang sama, dan kemudian
mendiskusikan peringatan ulangtahun gereja di Surabaya.
- Jakarta memilih merayakan 200 tahun kehadiran Gereja pada April tahun 2007 sebagai sebuah Keuskupan Agung didasarkan pada penetapan Batavia sebagai Prefektur Apostolik pada 8 Mei 1807, meskipun imam Prefeknya tiba di Batavia baru pada 4 April 1808 (dan ekaristi dirayakan pertama kali pada 10 April 1808). Sementara Paroki Katedral memilih merayakan ulangtahunnya berdasarkan peresmian/pemberkatan gedung/bangunan Katedral pada 21 April 1901.
- Semarang memilih merayakan 200 tahun Paroki St. Yusup Gedangan pada bulan Desember tahun 2008 berdasarkan penetapan penugasan seorang imam di Semarang pada Desember 1808 yang sekaligus merupakan penetapan Semarang sebagai sebuah stasi gerejani. “Tanggal 27 Desember 1808, Gubernur Jenderal Daendels memutuskan dengan beslit bahwa Pastor Lambertus Prinsen Pr, menjadi pastor di Semarang. Esoknya, 28 Desember 1808, Pastor Prinsen tiba di Semarang. Sejak itu Semarang menjadi stasi.”
- Tetapi, Surabaya memilih merayakan “bukan ke-200 tahun”, melainkan "ke-195 tahun" Paroki Kelahiran St. Perawan Maria pada September 2010 berdasarkan penetapannya sebagai paroki pada 1815, yang datanya agak problematis dan bersumber pada kebingungan mengenai penetapan tahun pendirian stasi Surabaya. Menurut sumber itu, stasi Surabaya didirikan pada tahun 1815. (lih. “Gereja Kelahiran Santa Perawan Maria Dalam Lintasan Sejarah” pada Website Paroki Kelahiran St. Perawan Maria http://gerejakelsapa.com/news/?page_id=533 yang bersumber pada buku Sejarah Perkembangan Keuskupan Surabaya, oleh Rm. John Tondowidjojo CM, Jilid II-A, hal. 96-100)
Lahirnya
Paroki Kelahiran Santa Perawan Maria Surabaya
Berbeda
dengan Semarang, peringatan hari ulangtahun Paroki Kelahiran Santa
Perawan Maria Surabaya, selanjutnya disingkat "Paroki Kepanjen",
sampai saat ini didasarkan pada "pendirian Paroki Surabaya".
Pertanyaan yang menarik adalah: kapan, oleh siapa, dan bagaimanakah
pendirian Paroki Surabaya itu terjadi atau dilakukan? Akan lebih
menarik lagi kalau diadakan perdebatan dengan menghadirkan para
ahli/penulis sejarah gereja di Indonesia.
Kolom
"History" berjudul “Gereja Kelahiran Santa Perawan Maria
Dalam Lintasan Sejarah” pada Website Paroki Kelahiran St. Perawan
Maria, menyebutkan:
"Pada
tahun 1815 Pastor Hendrikus Waanders Pr. mendirikan stasi yang
pertama di Surabaya (merupakan stasi kelima di Indonesia setelah
Jakarta/Batavia - Semarang (23 Desember 1808) - Ambarawa -
Yogyakarta). Sampai pada tahun 1811 ada 7 orang pastor yang berkarya
di Indonesia, yaitu 2 pastor di Batavia, 2 pastor di Surabaya, 2
pastor di Semarang dan 1 pastor di Makasar.... Pada tahun 1815, stasi
Surabaya dijadikan Paroki."
Terlebih
dahulu harus dicatat, bahwa di era informasi cepat melalui internet
dewasa ini, setiap orang yang tertarik untuk mengetahui "sejarah
Gereja Kepanjen" dan mencarinya lewat Google, dengan segera akan
dirujuk ke alamat-alamat website yang mengandung informasi itu. Dan
salah satu website terpenting, yang juga dirujuk oleh beberapa
website lain, adalah Website Paroki Kelahiran St. Perawan Maria
http://gerejakelsapa.com/.
Informasinya dipandang sebagai sumber resmi, dan datanya dianggap
akurat, apalagi yang menyangkut data historis, karena berasal dari
paroki yang bersangkutan. Paragraf dalam kolom "History"
seperti dikutip di atas mengandung
sejumlah data historis yang sangat penting, terutama mengenai
kelahiran paroki Kepanjen, dan justru karena itu maka kiranya perlu
dibaca secara kritis dan dikoreksi.
Pertama,
"Pada tahun 1815 Pastor Hendrikus Waanders Pr. mendirikan
stasi yang pertama di Surabaya". Apakah yang dimaksudkan
dengan "mendirikan stasi" disini? Apakah yang dimaksud
dengan "stasi yang pertama"? Apakah lalu ada "yang
kedua, yang ketiga, dan seterusnya" didirikan oleh Pastor
Waanders? Apakah Pastor Waanders punya hak dan kewenangan untuk
mendirikan stasi di Surabaya? Pernyataan bahwa stasi Surabaya
didirikan baru pada tahun 1815 memberi kesan bahwa pelayanan gerejani
di Surabaya baru terjadi pada tahun 1815. Apakah memang demikian
kenyataannya?
Pendirian
stasi Surabaya pada masa itu apakah bisa dibayangkan seperti
pendirian Stasi Pogot, yang setelah sekian tahun berkembang lantas
ditingkatkan menjadi Paroki Pogot? Untuk membayangkannya, diperlukan
pemahaman mengenai situasi kolonial saat itu, terutama menyangkut
kewenangan-kewenangan di wilayah koloni Hindia Belanda. Pada masa itu
yang berwenang menugaskan dan menempatkan pastor secara resmi di
seluruh Hindia Belanda, dan dengan begitu juga menetapkan pendirian
stasi gerejani, dalam arti pos misi dimana seorang pastor
ditempat-tugaskan, adalah Gubernur Jenderal. Bahkan kewenangan Prefek
Apostolik pun sampai tahun 1840 tidak diakui oleh pemerintah
kolonial. Adolf Heuken (200 Tahun Gereja Katolik di Jakarta.
Jakarta: CLC, 2007, hal.49-56) mencatat, Prefek hanya dianggap
sebagai “pastor kepala Batavia” dan bukan superior atas
pastor-pastor lain. Stasi gerejani dengan sendirinya didirikan ketika
seorang pastor secara resmi oleh pemerintah kolonial
ditempat-tugaskan disitu. Contoh paling jelas adalah Semarang.
Pada
tahun 1810 Gubernur Jenderal Daendels (1808-1811) mengeluarkan
keputusan mengenai penggajian, tunjangan, dan penginjil dan pastor
yang akan diangkat di Jawa dan Makassar. Dalam keputusan tersebut
antara lain ditentukan mengenai penugasan 9 penginjil Gereformeerde,
4 penginjil pemerintah, 2 pastor akan ditempatkan di Batavia, 2 di
Semarang, 2 di Surabaya, dan 1 di Makassar.
Atas
perintah Daendels, segala urusan keuangan gereja harus
dipertanggungjawabkan pada pemerintah.
Pada
paroh pertama abad XIX di seluruh Hindia Belanda berlaku kebijakan
berikut:
a)
Prefektur Apostolik Batavia didirikan pada 8 Mei 1807 setelah ada
persetujuan Raja Louis Napoleon. Dan berada di bawah kewenangan
"Zending Belanda".
b)
Urusan agama adalah urusan dan kewenangan negara/pemerintah.
c)
Misionaris Katolik hanya boleh masuk Hindia Belanda setelah
mendapatkan surat ijin (“radicaal”) dari pemerintah Belanda, dan
hanya untuk misionaris Belanda.
d)
Tempat tujuan dan jumlah misionaris yang boleh bekerja di Hindia
Belanda ditentukan oleh pemerintah kolonial.
e)
Misionaris adalah pegawai pemerintah dan digaji pemerintah
f)
Misionaris Katolik dilarang memasuki wilayah misi Protestan
g)
Tugas misionaris adalah “pemeliharaan rohani warga Eropa-Katolik”,
bukan misi di antara orang-orang pribumi.
h)
Dekrit Gubernur Jenderal van Hogendorp (1840): penunjukan,
penempatan, dan penggantian pastor dilakukan atas rekomendasi
Prefektur Apostolik
i)
Nota der punten (1847): Vikaris Apostolik Batavia diberi hak untuk
penunjukan, penempatan, dan penggantian misionaris.
Dengan
situasi kolonial seperti itu sulit dibayangkan bahwa Pastor Waanders
memiliki kewenangan mendirikan stasi/pos misi. Stasi Surabaya,
sebagai pos misi, dengan sendirinya terjadi begitu Pastor Waanders
secara resmi (dengan surat tugas) menempati pos tugasnya di Surabaya,
sejak 12 Juli 1810.
Kedua,
pada paragraf yang berikutnya tertulis, "Pada tahun 1815,
stasi Surabaya dijadikan Paroki". Apakah yang dimaksudkan
dengan "stasi Surabaya dijadikan Paroki"? Dibandingkan
dengan fakta sebelumnya, bahwa pada tahun 1815 didirikan stasi di
Surabaya, apakah pernyataan ini mau mengatakan fakta baru, yakni
bahwa stasi tersebut statusnya lantas ditingkatkan menjadi paroki
pada tahun yang sama juga? Pernyataan bahwa pada tahun 1815 stasi
Surabaya dijadikan Paroki apakah memiliki dasar historis? Kita perlu melihat beberapa fakta.
Fakta Adanya Pastor Secara Berkesinambungan Sejak 1810
Catatan
kronologis pertama mengenai Sejarah Stasi Surabaya dibuat pada tahun
1886 pada kertas putih dalam bahasa Latin dengan tulisan tangan
sepanjang delapan halaman, dengan judul "Historia Domus
Stationis Soerabaiae". Catatan ini kemudian ditulis kembali pada
kertas bergaris kotak-kotak mungkin warna merah muda pada tahun 1890,
masih dalam bahasa Latin dan dengan tulisan tangan sepanjang empat
setengah halaman, dengan judul "Historia Stationis Soerabaiae ab
anno 1810 ad annum 1890". Mungkin karena kurang informasi atau
sebab lain, periode 50 tahun pertama (1810-1859), periode para
misionaris Praja sebelum kedatangan para pastor Yesuit, hanya secara
ringkas sekali dicatat, tidak lebih dari satu halaman. Mengenai awal
stasi Surabaya dan Pastor Waanders, dalam kronik itu hanya dicatat:
"Misionaris pertama di kota ini adalah Pastor Henricus Waanders
sejak tahun 1810. Dia membangun gereja katolik pada tahun 1821, yang
diberkati tahun berikutnya pada tanggal 22 Maret. Dia berhenti pada
tahun 1827."
Tetapi
bagaimanapun ringkasnya, kronik tersebut mencatat bukan hanya bahwa
di stasi Surabaya selalu ada pastor dan pelayanan gerejani yang
tetap, melainkan juga siapa saja mereka itu dan kapan bertugas di
Surabaya. Dalam kurun waktu 47 tahun (1810-1857)
terdapat 9 pastor Praja Belanda dan 2 pastor Fransiskan pernah
bertugas di Surabaya sebelum digantikan oleh para pastor Yesuit pada
tahun 1859. Ke sebelas pastor itu ialah:
PASTOR
HENRICUS WAANDERS 1810-1827
PASTOR
ADRIANUS THIJSSEN 1827-1844
(Socius:
Pastor A.D. Godhardt OFM sebagai kapelan 1842-1844, Pastor Joannes
Antonius van DIJK sebagai kapelan 1844-1845)
PASTOR
H.J. CARTENSTAT 1844-1845
PASTOR
B. KERSTENS 1845-1846
Pastor
P.N. SANDERS 1847-1849
PASTOR
Norbertus MOONEN 1848 – 1856
(Socius:
Pastor Mathias Kooij OFMCap sebagai Kapelan 1849-1850, Pastor Caspar
de Hesselle sebagai Kapelan 1851-1852)
PASTOR
Caspar Joannes Hubertus FRANSSEN 1856-1857
Fakta Pencatatan Pembaptisan Sejak 1810
Buku
Induk Baptis, yang dimiliki dan selalu tersimpan di stasi Surabaya
juga mencatat pembaptisan sejak tahun 1810 (sampai sekarang). Bukan
sejak 1811, sebagaimana terdapat dalam berbagai dokumen selama ini.
Kekeliruan rupanya terjadi karena cover depan pada Registrum
Baptismale Buku I (Pertama) diberi keterangan yang agak menyesatkan,
yaitu menyebutkan registrasi mulai dari 10 Maret 1811. Ternyata,
baptisan tertanggal 10 Maret 1811 bukanlah baptisan pertama (dengan
nomor urut 1) yang tercatat dalam Registrum Baptismale Buku I, tetapi
baptisan dengan nomor urut 2. Registrasi baptisan dengan nomor urut 1
atas nama Jan George tidak bertanggal tapi bertahun 1810. Selain itu,
berdasarkan catatan kecil pada bagian atas halaman (1810/12) tidak
bisa disimpulkan lain selain bahwa baptisan pertama terjadi dalam
tahun 1810. Dalam tahun 1810-1815 tercatat 17 pembaptisan, termasuk 1
orang yang dibaptis di Bezoeki pada 12 Mei 1812, dengan rincian: 1810
(1 org), 1811 (2 org), 1812 (7 org), 1813 (5 org), 1814 (1 org), 1815
(1 org). Selain Buku Induk Baptis, kita tidak punya sumber otentik
lain untuk 15 tahun pertama stasi Surabaya.
Fakta Kepengurusan Gereja dan Sampai 1890 pun Tetap Disebut Stasi
Buku
Notulen Gereja, sebagai dokumen otentik masa itu, baru ada catatan
sejak 29 Mei 1826 (sampai dengan 1936). Buku ini merupakan kumpulan
notulen rapat “Kerk en Arm Bestuur” (Dewan Gereja dan Keuangan).
Dari buku ini dapat diketahui bahwa rapat Dewan Paroki dan Keuangan
dilakukan secara rutin dua kali sebulan, minimal sebulan sekali, yang
membicarakan hal-hal penting untuk kepentingan gereja. Dari buku ini
kita juga tahu bila terjadi pergantian pastor di stasi Surabaya,
bahwa selalu ada pastor dan pelayanan gerejani yang tetap di
Surabaya. Tidak ada dokumentasi pengubahan stasi menjadi paroki
sebagai suatu status sebagaimana kita kenal sekarang. Tampaknya,
suatu stasi dengan sendirinya juga berfungsi sebagai "paroki"
(dalam arti status administratif yang kita mengerti sekarang), tidak
ada upacara-upacara pendirian dengan pemukulan gong atau
pengguntingan pita seperti sekarang. Pada masa itu tidak dikenal yang
namanya perubahan dari stasi dijadikan paroki. Istilah "paroki"
sebagai suatu pembagian wilayah administratif belum dikenal, yang
dikenal hanyalah istilah "stasi" atau "gereja
Katolik". Bahkan sampai tahun 1890 pun, ketika kronik historis
ditulis oleh salah seorang pastor Yesuit, Surabaya masih disebut
“stasi” (“Historia Stationis Soerabaiae ab anno 1810 ad annum
1890”), sebagai satu-satunya gereja Katolik di Jawa Timur. Jadi,
pernyataan bahwa "Pada
tahun 1815, stasi Surabaya dijadikan Paroki", bila
dipahami sebagai sebuah perubahan status administratif sebagaimana
dipahami dewasa ini, kiranya harus dikatakan tidak memiliki landasan
historis.
Dengan
demikian, Stasi Surabaya dengan fungsi parokialnya, yang kemudian
berpusat di Jl. Kepanjen sebagai Paroki Kelahiran Santa Perawan Maria
sebagaimana kita kenal sekarang, harus dikatakan sudah lahir atau
berdiri sejak 1810 (bukan 1815) dan sudah berusia 200 tahun, karena
alasan-alasan berikut:
- Penugasan resmi seorang imam secara menetap dan berkelanjutan sejak 1810
- Pelayanan gerejani (ekaristi dan sakramen-sakramen lain) sejak 1810
- Mulai pencatatan pembaptisan sejak 1810
- Penghargaan atas sejarah kehadiran Gereja Katolik di kota Surabaya sejak 1810 dan atas kerja misionaris awal sejak kedatangannya pada 12 Juli 1810
- Perbandingan dengan pendirian stasi sejaman, yaitu Stasi Semarang pada 1808, yang kemudian menjadi Paroki St. Yusup, Gedangan – Semarang, dan yang sudah merayakan 200 tahun paroki pada bulan Desember 2008
Ketiga,
keterangan dalam tanda kurung "(merupakan
stasi kelima di Indonesia setelah Jakarta/Batavia - Semarang (23
Desember 1808) - Ambarawa - Yogyakarta)". Apakah
keterangan tersebut berarti bahwa stasi Surabaya didirikan setelah
Ambarawa dan Yogyakarta? Apakah keterangan tersebut sesuai dengan
fakta sejarah?
Tambahan
keterangan bahwa Surabaya merupakan “stasi kelima di Indonesia”
(lih. juga Sejarah Perkembangan Keuskupan Surabaya jilid I hal.14 dan
jilid II-A hal.96) bukan saja membingungkan, tetapi juga tidak sesuai
dengan fakta sejarah. Bukan stasi kelima, tetapi STASI KETIGA setelah
stasi Batavia (1808) dan stasi Semarang (1808). Stasi Ambarawa baru
berdiri tahun 1859 setelah dipisahkan dari stasi Semarang dan
meliputi wilayah Ambarawa-Salatiga-Solo-Madiun-Pacitan. Sementara
stasi Yogyakarta berdiri pada tahun 1865 setelah dipisahkan dari
stasi Semarang dan meliputi wilayah Yogyakarta-Kedu-Bagelen-Banyumas.
(lih.
Sejarah Gereja St Yusup Gedangan – Semarang oleh Rm Johannes
Pujasumarta Pr pada website
http://historiadomus.multiply.com/journal/item/2/001_Sejarah_Gereja_Paroki_Santo_Yusup_Gedangan?&item_id=2&view:replies=reverse;
lih juga Peta Gereja Indonesia 1990 dalam Boelaars, hal.53).
Keempat,
"Sampai pada tahun 1811
ada 7 orang pastor yang berkarya di Indonesia, yaitu 2 pastor di
Batavia, 2 pastor di Surabaya, 2 pastor di Semarang dan 1 pastor di
Makasar." Apakah pernyataan tersebut merupakan fakta
sejarah?
Dari
pernyataan di atas paling tidak didapatkan kesan bahwa pada tahun
1811 terdapat 2 pastor di Surabaya. Pernyataan tersebut di atas perlu
dibaca dengan hati-hati dan tidak boleh dimengerti sebagai fakta,
melainkan harus dimengerti sebagai “keputusan atas sebuah rencana”.
Catatan tersebut bersumber dari catatan bahwa pada tahun 1810
Gubernur Jenderal Daendels mengeluarkan keputusan mengenai
penggajian, tunjangan, dan penginjil dan pastor yang akan diangkat di
Jawa dan Makassar. Dalam keputusan tersebut antara lain ditentukan
mengenai penugasan 9 penginjil Gereformeerde, 4 penginjil pemerintah,
2 pastor akan ditempatkan di Batavia, 2 di Semarang, 2 di Surabaya,
dan 1 di Makassar. (lih. buku Rm John Tondowidjojo CM, Sejarah
Perkembangan Keuskupan Surabaya jilid II-A hal.16).
Pada
intinya surat keputusan Gubernur Jenderal Daendels mau mengatakan
bahwa untuk misi katolik di seluruh wilayah Hindia Belanda hanya
tersedia ijin (“radicaal”) untuk 7 orang pastor saja, tidak
lebih. Mengenai penempatan tenaga itu ternyata Prefek Batavia masih
bisa “menawar” (walau problematis). Sebab faktanya, bukan 2 imam
tetapi hanya 1 imam (pastor H. Waanders) yang bertugas menetap di
Surabaya sampai Januari 1826 (saat kedatangan pastor Andrianus
Thijssen).
Sementara
itu untuk stasi Makassar, meskipun sudah direncanakan dan diijinkan
dibuka pada tahun 1810 tetapi karena kurangnya tenaga maka peluang
itu tidak bisa segera terpenuhi, jadi ditunda. Pada kenyataannya,
stasi ini baru bisa dibuka pada tahun 1892, setelah seorang imam
Yesuit yang sebelumnya bertugas di Larantuka ditempatkan di Makassar
dan mendirikan gereja disitu.
(lih.
Hasto, hal.29; dan Sejarah Paroki Katedral Makassar pada website
http://katedralmakassar.org/index.php?option=com_content&view=article&id=46&Itemid=34
)
Ev.E.Prasetyo,
CM
10
Pebruari 2013
No comments:
Post a Comment