Friday, September 18, 2015

Surat Yohanes Gabriel Perboyre Tahun 1835




Surat Yohanes Gabriel Perboyre Tahun 1835

Pengantar
Yohanes Gabriel Perboyre adalah seorang misionaris Lazarist (Congregatio Missionis) yang mati sebagai martir di China pada 11 September 1840. Pada 2 Juni 1996 dia dinyatakan sebagai orang suci oleh Paus Yohanes Paulus II. Ia lahir di Le Puech dekat Montgesty, Perancis, pada 1802. Pada 23 September 1826 ia ditahbiskan menjadi imam di Paris. Setelah beberapa tahun bekerja di seminari, dia mengajukan diri untuk menjadi misionaris di China. Pada tahun 1835, dalam perjalanannya dari Perancis menuju Macao, ia singgah di Jawa karena harus berganti kapal. Dari pelabuhan Le Havre tanggal 21 Maret dia menumpang kapal Edmund dan tiba di Batavia tanggal 26 Juni. Dari Batavia dia harus pindah ke kapal Royal George tanggal 5 Juli dengan tujuan Macao, tetapi kapal harus singgah dulu selama 3 minggu di Surabaya, dari tanggal 14 Juli hingga 7 Agustus 1835.

Selama 3 minggu di Surabaya dia sempat mengunjungi gereja katolik yang pada waktu itu di Roomsch KerkStraat (Jl. Cendrawasih), dan merayakan misa hari-hari Minggu di situ. Dia bahkan bercerita pernah makan bersama pastor setempat pada kesempatan hari pesta St. Vinsensius, yang pada masa itu (1737-1969) dirayakan pada tanggal 19 Juli. "Pada hari St. Vinsensius, setelah tinggal di gereja hingga tengah hari, kami makan bersama dengan pastor". Pastor paroki yang dimaksud kiranya adalah Adrianus Thijssen, yang bertugas di Surabaya pada 1827-1844.

Para misionaris Lazarist yang mengembangkan gereja katolik di Keuskupan Surabaya sejak 1923 kerap mengidentifikasikan diri mereka sebagai mengikuti jejak misi sang martir Yohanes Gabriel Perboyre. Dan karena itu nama Yohanes Gabriel juga dipakai di sejumlah institusi di Keuskupan Surabaya, seperti nama yayasan, sekolah, dan sebagainya. Berikut adalah bagian dari surat-surat Yohanes Gabriel Perboyre, baik yang ditulisnya di Surabaya, maupun tentang gereja katolik di Surabaya dan Jawa pada tahun 1835.


Surat kepada pamannya; Surabaya 24 Juli 1835

Waktu itu tanggal 23 Juni, kami memasuki Selat Sunda. Saya tidak dapat melukiskan perasaan kami ketika memandangi pulau-pulau ini yang dipenuhi pohon-pohon dengan buah-buahnya yang hampir-hampir bisa kami jangkau; menebarkan aroma kuat dan manis dari cinnamon (kayu manis); membuat kami merasa bahwa hidup baru sedang merasuk ke dalam diri kami. Esoknya, pada pesta St. Yohanes Pembaptis, pelindung saya, saya berdoa misa semudah melakukannya di daratan, yaitu di atas lautan yang berwarna zaitun dan selalu tenang. Kami berlayar maju dengan hati-hati di antara sejumlah pulau kecil, lebih-lebih di antara karang-karang, yang ditunjukkan kepada para pelaut dengan banyak tanda silang yang timbul di semua sisi di atas permukaan air. Akhirnya, pada tanggal 26 kami bersandar di pelabuhan Batavia.

Kami menghabiskan tiga hari berikutnya dan juga hari-hari Minggu dan pesta St. Petrus di kediaman Prefek Apostolik, dimana pastor tinggal. Segera setelah kami kembali ke kapal, kami harus berkemas seperlunya untuk ganti kapal. Pindah dari satu kapal ke kapal yang lain yang mestinya diberi waktu hanya satu jam, membutuhkan waktu tiga jam; itupun saya harus bekerja seperti seorang pelaut profesional. Perahu panjang, dimana saya bersama empat atau lima orang, dan mengangkut barang-barang terberat dari bagasi bawaan kami, terbawa arus begitu cepatnya sehingga kami tidak dapat menggunakan layar melainkan harus menggulungnya, karena angin bertiup mengarah langsung melawan kami; dengan sia-sia kami berusaha melawan amukan gelombang. Dan sesungguhnya kami malah terdorong mundur jauh ketimbang maju. Malam tiba dan laut bergelombang sementara kami mendayung dengan sia-sia. Yang bisa kami lakukan tak lebih dari melewati beberapa gelombang panjang di tengah kegelapan, melelahkan, dan kami nyaris putus asa, hingga akhirnya muncullah dua orang pendayung baru dengan dua perahu yang ditempatkan berjajar di depan perahu kami, dan diikat dengan tambang, seperti seekor kuda penyelamat diikatkan pada sebuah kereta. Pertolongan ini dengan segera membawa kami dengan selamat menuju ke kapal yang siap menerima kami. Saya segera berganti baju, yang basah kuyup oleh keringat dan air laut, setelah kerja yang melelahkan memompa dan memegang kemudi. Pada tanggal 5 Juli kami berangkat dengan kapal “Royal George” yang kami kira akan membawa kami ke China, tetapi yang diharuskan, sebagaimana kapal “Edmund”, untuk pergi mengambil barang di ujung timur Jawa.

Kami berada di sini di pelabuhan Surabaya sejak tanggal 14. Kami akan berangkat pada tanggal 10 Agustus. Kami nanti harus kembali ke rute perjalanan kami, dua kali menyusuri pantai barat Pulau Borneo; kemungkinan akan tiba di Macao menjelang Pesta Natal. Sementara menunggu kami harus menghadapi penundaan ini dengan sabar dan berusaha memanfaatkan waktu kami. Kami pergi ke daratan pada hari minggu saja, untuk berdoa misa. Pada hari St. Vinsensius, setelah tinggal di gereja sampai tengah hari, kami makan bersama dengan pastor.

Di seluruh Pulau Jawa hanya ada empat imam, semuanya orang Belanda. Tidak ada imam sama sekali di pulau-pulau yang lain sekitarnya. Semua pulau ini dihuni oleh orang Melayu yang mengikuti agama Islam, paling tidak di tempat-tempat tertentu. Sekarang ini sedang musim dingin di negeri ini, namun musim dingin disini serasa musim-musim panas di Montauban.


Surat kepada salah seorang Asisten Jenderal CM; Macao, 9 September 1835

Romo dan Konfrater yang terhormat,

Inilah aku: inilah kata-kata yang harus saya sampaikan kepada Anda sebagai tanda pertama bahwa saya hidup, di Macao. Ya, inilah aku, dan terpujilah Tuhan kita yang telah mengantarkan saya ke sini!… “Jika aku mengepakkan sayapku di pagi hari, dan tinggal di ujung samudera, bahkan di sana pun tangan-Mu menuntun aku dan tangan kanan-Mu memegang aku” (Mzm. 138, 9-10). Dari surat yang saya tulis kepada Superior Jenderal, Anda tahu bahwa sampai pada saat itu perjalanan kami pada umumnya menyenangkan. Setelahnya juga tidak kurang dari itu. Kami tinggal tiga minggu di pelabuhan Surabaya. Penundaan ini bagi kami serasa seperti sebuah liburan yang di negeri itu diperuntukkan bagi orang yang sudah satu tahun bekerja keras. Panasnya cuaca yang membakar di Jawa diiringi dengan angin sepoi-sepoi dari pegunungan di sekitarnya. Walau pun kami disibukkan dengan belajar dan berdoa dari jam lima atau enam pagi hingga jam sepuluh malam, umumnya kami merasa lebih nyaman di kapal baru daripada di kapal sebelumnya, karena kami tidak terganggu oleh gelombang ombak; setiap hari kami mendapatkan kekuatan baru untuk meneruskan perjalanan kami. Kami pergi ke kota untuk berdoa misa sesering mungkin; yaitu sekali atau dua kali seminggu. Kadangkala, meskipun jarang, kami berjalan-jalan di sepanjang pantai Jawa dan Madura.

Kami meninggalkan Surabaya pada tanggal 7 Agustus. Kami diharuskan untuk membuang jangkar empat atau lima “league” (sekitar 12-15 mil) dari sana, menunggu sampai kembalinya air pasang, karena kapal terbenam dalam lumpur sedalam beberapa kaki. Keesokan harinya, setelah kami dapat meneruskan kembali perjalanan, kemudi memaksa kami meluncur mengarah ke tepi. Untungnya sang kapten segera menyesuaikan layar-layar sehingga mendorong kapal untuk mundur dan membelokkannya ke arah yang lain.

Dalam bahaya-bahaya seperti ini, kami berhutang keselamatan kami kepada keterampilan sang komandan dan kekuatan angin, atau lebih tepat, kepada Penyelenggaraan Ilahi yang mengatur segalanya, dan yang pada kedatangan-Nya yang kedua akan menghakimi dengan adil dan belas kasih. Musim angin yang berhembus dari tenggara berlanjut sepanjang bulan Agustus di Laut China. Hal ini sangat menguntungkan pelayaran kami, dan pada tanggal 29, kami akhirnya tiba di Macao.


penerjemah: ev. e. prasetyo cm

Sumber:
Life of Blessed John Gabriel Perboyre, Priest of the Congregation of the Mission. London: Forgotten Books, 2013. pp. 128-132. (Original work published 1894)





ev.e.prasetyo cm

No comments:

Post a Comment