Monday, September 21, 2015

Masalah Kunjungan Pastoral ke Madura 1839


Masalah Kunjungan Pastoral ke Madura 1839


Pada tahun 1839 terdapat sekitar 40 umat katolik di pulau Madura. Mereka terdiri atas warga sipil, anggota tentara, dan para tahanan di penjara. Tetapi mereka jarang mendapat kunjungan pastor. Pada tanggal 9 September 1839 Prefek Apostolik Scholten menerima sepucuk surat dari komandan garnisun tentara di Bangkalan Madura. Komandan itu mengeluh bahwa lebih dari empat tahun tidak ada imam katolik yang datang mengunjungi anggota gerejanya, sementara pendeta Protestan dengan teratur mengunjungi jemaatnya. Pada tanggal 12 September 1839 Scholten mengirim sepucuk surat kepada Gubernur Jenderal Baud untuk memintanya memberi wewenang pastor Surabaya Adriaan Tijssen guna mengunjungi umat katolik di pulau Madura sekali setahun dan di penjara Benteng Oranye empat kali setahun, serta untuk mengganti biaya perjalanannya. Oleh Scholten salinan surat itu dikirimkan ke Thijssen, sambil memintanya untuk memberikan laporan mengenai pelayanan terhadap 40 umat katolik di Madura. Tetapi dengan jengkel Thijssen membalas bahwa umatnya yang jumlahnya kecil dan tersebar itu dapat dengan mudah datang ke Surabaya bila mereka memang mempunyai kebutuhan keagamaan. Tetapi, menurutnya, kalangan ini merupakan anggota-anggota serikat rahasia (sebagian besar anggota Freemason), sementara yang lain hidup kumpul kebo. Hanya segelintir yang tersisa: sejumlah kecil domba yang tetap setia dan beberapa perempuan tua.


Sumber: 
Karel Steenbrink. Catholics in Indonesia: a documented history, Vol. I: 1808-1900. Leiden: 2003, hal. 21, 243-244

Friday, September 18, 2015

Surat Yohanes Gabriel Perboyre Tahun 1835




Surat Yohanes Gabriel Perboyre Tahun 1835

Pengantar
Yohanes Gabriel Perboyre adalah seorang misionaris Lazarist (Congregatio Missionis) yang mati sebagai martir di China pada 11 September 1840. Pada 2 Juni 1996 dia dinyatakan sebagai orang suci oleh Paus Yohanes Paulus II. Ia lahir di Le Puech dekat Montgesty, Perancis, pada 1802. Pada 23 September 1826 ia ditahbiskan menjadi imam di Paris. Setelah beberapa tahun bekerja di seminari, dia mengajukan diri untuk menjadi misionaris di China. Pada tahun 1835, dalam perjalanannya dari Perancis menuju Macao, ia singgah di Jawa karena harus berganti kapal. Dari pelabuhan Le Havre tanggal 21 Maret dia menumpang kapal Edmund dan tiba di Batavia tanggal 26 Juni. Dari Batavia dia harus pindah ke kapal Royal George tanggal 5 Juli dengan tujuan Macao, tetapi kapal harus singgah dulu selama 3 minggu di Surabaya, dari tanggal 14 Juli hingga 7 Agustus 1835.

Selama 3 minggu di Surabaya dia sempat mengunjungi gereja katolik yang pada waktu itu di Roomsch KerkStraat (Jl. Cendrawasih), dan merayakan misa hari-hari Minggu di situ. Dia bahkan bercerita pernah makan bersama pastor setempat pada kesempatan hari pesta St. Vinsensius, yang pada masa itu (1737-1969) dirayakan pada tanggal 19 Juli. "Pada hari St. Vinsensius, setelah tinggal di gereja hingga tengah hari, kami makan bersama dengan pastor". Pastor paroki yang dimaksud kiranya adalah Adrianus Thijssen, yang bertugas di Surabaya pada 1827-1844.

Para misionaris Lazarist yang mengembangkan gereja katolik di Keuskupan Surabaya sejak 1923 kerap mengidentifikasikan diri mereka sebagai mengikuti jejak misi sang martir Yohanes Gabriel Perboyre. Dan karena itu nama Yohanes Gabriel juga dipakai di sejumlah institusi di Keuskupan Surabaya, seperti nama yayasan, sekolah, dan sebagainya. Berikut adalah bagian dari surat-surat Yohanes Gabriel Perboyre, baik yang ditulisnya di Surabaya, maupun tentang gereja katolik di Surabaya dan Jawa pada tahun 1835.


Surat kepada pamannya; Surabaya 24 Juli 1835

Waktu itu tanggal 23 Juni, kami memasuki Selat Sunda. Saya tidak dapat melukiskan perasaan kami ketika memandangi pulau-pulau ini yang dipenuhi pohon-pohon dengan buah-buahnya yang hampir-hampir bisa kami jangkau; menebarkan aroma kuat dan manis dari cinnamon (kayu manis); membuat kami merasa bahwa hidup baru sedang merasuk ke dalam diri kami. Esoknya, pada pesta St. Yohanes Pembaptis, pelindung saya, saya berdoa misa semudah melakukannya di daratan, yaitu di atas lautan yang berwarna zaitun dan selalu tenang. Kami berlayar maju dengan hati-hati di antara sejumlah pulau kecil, lebih-lebih di antara karang-karang, yang ditunjukkan kepada para pelaut dengan banyak tanda silang yang timbul di semua sisi di atas permukaan air. Akhirnya, pada tanggal 26 kami bersandar di pelabuhan Batavia.

Kami menghabiskan tiga hari berikutnya dan juga hari-hari Minggu dan pesta St. Petrus di kediaman Prefek Apostolik, dimana pastor tinggal. Segera setelah kami kembali ke kapal, kami harus berkemas seperlunya untuk ganti kapal. Pindah dari satu kapal ke kapal yang lain yang mestinya diberi waktu hanya satu jam, membutuhkan waktu tiga jam; itupun saya harus bekerja seperti seorang pelaut profesional. Perahu panjang, dimana saya bersama empat atau lima orang, dan mengangkut barang-barang terberat dari bagasi bawaan kami, terbawa arus begitu cepatnya sehingga kami tidak dapat menggunakan layar melainkan harus menggulungnya, karena angin bertiup mengarah langsung melawan kami; dengan sia-sia kami berusaha melawan amukan gelombang. Dan sesungguhnya kami malah terdorong mundur jauh ketimbang maju. Malam tiba dan laut bergelombang sementara kami mendayung dengan sia-sia. Yang bisa kami lakukan tak lebih dari melewati beberapa gelombang panjang di tengah kegelapan, melelahkan, dan kami nyaris putus asa, hingga akhirnya muncullah dua orang pendayung baru dengan dua perahu yang ditempatkan berjajar di depan perahu kami, dan diikat dengan tambang, seperti seekor kuda penyelamat diikatkan pada sebuah kereta. Pertolongan ini dengan segera membawa kami dengan selamat menuju ke kapal yang siap menerima kami. Saya segera berganti baju, yang basah kuyup oleh keringat dan air laut, setelah kerja yang melelahkan memompa dan memegang kemudi. Pada tanggal 5 Juli kami berangkat dengan kapal “Royal George” yang kami kira akan membawa kami ke China, tetapi yang diharuskan, sebagaimana kapal “Edmund”, untuk pergi mengambil barang di ujung timur Jawa.

Kami berada di sini di pelabuhan Surabaya sejak tanggal 14. Kami akan berangkat pada tanggal 10 Agustus. Kami nanti harus kembali ke rute perjalanan kami, dua kali menyusuri pantai barat Pulau Borneo; kemungkinan akan tiba di Macao menjelang Pesta Natal. Sementara menunggu kami harus menghadapi penundaan ini dengan sabar dan berusaha memanfaatkan waktu kami. Kami pergi ke daratan pada hari minggu saja, untuk berdoa misa. Pada hari St. Vinsensius, setelah tinggal di gereja sampai tengah hari, kami makan bersama dengan pastor.

Di seluruh Pulau Jawa hanya ada empat imam, semuanya orang Belanda. Tidak ada imam sama sekali di pulau-pulau yang lain sekitarnya. Semua pulau ini dihuni oleh orang Melayu yang mengikuti agama Islam, paling tidak di tempat-tempat tertentu. Sekarang ini sedang musim dingin di negeri ini, namun musim dingin disini serasa musim-musim panas di Montauban.


Surat kepada salah seorang Asisten Jenderal CM; Macao, 9 September 1835

Romo dan Konfrater yang terhormat,

Inilah aku: inilah kata-kata yang harus saya sampaikan kepada Anda sebagai tanda pertama bahwa saya hidup, di Macao. Ya, inilah aku, dan terpujilah Tuhan kita yang telah mengantarkan saya ke sini!… “Jika aku mengepakkan sayapku di pagi hari, dan tinggal di ujung samudera, bahkan di sana pun tangan-Mu menuntun aku dan tangan kanan-Mu memegang aku” (Mzm. 138, 9-10). Dari surat yang saya tulis kepada Superior Jenderal, Anda tahu bahwa sampai pada saat itu perjalanan kami pada umumnya menyenangkan. Setelahnya juga tidak kurang dari itu. Kami tinggal tiga minggu di pelabuhan Surabaya. Penundaan ini bagi kami serasa seperti sebuah liburan yang di negeri itu diperuntukkan bagi orang yang sudah satu tahun bekerja keras. Panasnya cuaca yang membakar di Jawa diiringi dengan angin sepoi-sepoi dari pegunungan di sekitarnya. Walau pun kami disibukkan dengan belajar dan berdoa dari jam lima atau enam pagi hingga jam sepuluh malam, umumnya kami merasa lebih nyaman di kapal baru daripada di kapal sebelumnya, karena kami tidak terganggu oleh gelombang ombak; setiap hari kami mendapatkan kekuatan baru untuk meneruskan perjalanan kami. Kami pergi ke kota untuk berdoa misa sesering mungkin; yaitu sekali atau dua kali seminggu. Kadangkala, meskipun jarang, kami berjalan-jalan di sepanjang pantai Jawa dan Madura.

Kami meninggalkan Surabaya pada tanggal 7 Agustus. Kami diharuskan untuk membuang jangkar empat atau lima “league” (sekitar 12-15 mil) dari sana, menunggu sampai kembalinya air pasang, karena kapal terbenam dalam lumpur sedalam beberapa kaki. Keesokan harinya, setelah kami dapat meneruskan kembali perjalanan, kemudi memaksa kami meluncur mengarah ke tepi. Untungnya sang kapten segera menyesuaikan layar-layar sehingga mendorong kapal untuk mundur dan membelokkannya ke arah yang lain.

Dalam bahaya-bahaya seperti ini, kami berhutang keselamatan kami kepada keterampilan sang komandan dan kekuatan angin, atau lebih tepat, kepada Penyelenggaraan Ilahi yang mengatur segalanya, dan yang pada kedatangan-Nya yang kedua akan menghakimi dengan adil dan belas kasih. Musim angin yang berhembus dari tenggara berlanjut sepanjang bulan Agustus di Laut China. Hal ini sangat menguntungkan pelayaran kami, dan pada tanggal 29, kami akhirnya tiba di Macao.


penerjemah: ev. e. prasetyo cm

Sumber:
Life of Blessed John Gabriel Perboyre, Priest of the Congregation of the Mission. London: Forgotten Books, 2013. pp. 128-132. (Original work published 1894)





ev.e.prasetyo cm

Wednesday, September 16, 2015

Gambar Arsitek Bangunan Gereja Kepanjen

Gambar Arsitek Bangunan Gereja Kepanjen 1899

Salah satu arsip gereja Kepanjen yang sangat berharga mengenai bangunan gereja Kepanjen adalah gambar yang dibuat oleh arsitek W. Westmaas pada tahun 1899. Gambar arsitek ini masih lumayan terawat.



Di bagian kanan bawah gambar tersebut terdapat keterangan mengenai gambar, kapan dibuat, oleh siapa, dan ditujukan untuk siapa. Berikut keterangan gambar itu:




GEREJA KATOLIK ROMA SURABAYA
RANCANGAN DENGAN PENENTUAN JARAK
DIBANDINGKAN DENGAN JALAN DAN LAHAN
SEMARANG, MARET 1899
W.G W. WESTMAAS
ARSITEK
UNTUK PANITIA PEMBANGUNAN
W.G P. JOTANTEN



Gambar Arsitek Bangunan Gereja Kepanjen 1949

Di jaman perang kemerdekaan tahun 1945 bangunan gereja hancur terkena bom dan terbakar. 


Renovasi mulai dilakukan pada tahun 1949, dengan memakai jasa biro arsitek HENRI ESTOURGIE. Pada gambar rancangan arsitek tertanggal Agustus 1949 tampak ditambahkan ruang Sakristi (tempat penyimpanan benda-benda suci dan tempat para imam beserta para petugas lainnya mempersiapkan diri sebelum perayaan misa) di samping kiri dan kanan Panti Imam. Selain itu juga ditambahkan ruang pengakuan dosa di bagian sayap kiri dan kanan. Berikut adalah gambar-gambar arsitektur tahun 1949 yang tersimpan sebagai arsip Kepanjen.





ev.e.prasetyo cm

Tuesday, September 15, 2015

Deskripsi Singkat Pembangunan Gereja Tahun 1900


Manuskrip “Korte omschrijving van de stichting de nieuwe Roomsch Katholieken Kerk te Soerabaja”




Catatan Mengenai Manuskrip

1. Manuskrip berbahasa Belanda ini terdiri atas 4 lembar kertas folio, tulisan tangan dengan coretan-coretan penambahan keterangan, tanpa keterangan tanggal penulisan, dalam rangka apa, dan tentang siapa penulisnya. Manuskrip berbicara mengenai proses konstruksi pembangunan dari awal hingga nyaris selesai, dan sedang menanti pemasangan jam yang akan datang dari Eropa dan yang akan dihubungkan dengan salah satu lonceng di menara. Berdasarkan manuskrip “Jurnal Pembangunan (4 April 1899 – 5 Agustus 1900)”, jam menara itu diterima pada tanggal 17 Juli 1900. Berdasarkan hal itu, penulisan naskah ini mestinya dilakukan sebelum tanggal 17 Juli 1900, kemungkinan dimaksudkan sebagai bahan suatu laporan dan atau reportase pada saat gereja nanti diresmikan. Melihat coretan-coretan penambahan dan koreksi, tampaknya naskah itu bukan teks final. Tetapi bagaimanapun, informasi di dalamnya sangat berharga.

2. Tanggal Peletakan Batu Pertama
Dalam manuskrip ini disebutkan bahwa peletakan batu pertama dilakukan secara meriah pada tanggal 16 Agustus 1899. Tetapi arsip dokumen tentang peletakan batu pertama yang tersimpan di Kepanjen memberikan bukti yang berbeda, yakni bahwa peletakan batu pertama dilakukan bukan tanggal 16 Agustus 1899, melainkan tanggal 17 September 1899. Agak terasa janggal untuk peristiwa sepenting itu. Tetapi mungkin dapat dijelaskan sebagai berikut:

Dalam kumpulan arsip manuskrip-manuskrip Kepanjen terdapat 3 (tiga) naskah manuskrip mengenai peletakan batu pertama:
1. Naskah Peletakan Batu Pertama tertanggal 16 Agustus 1899 (dalam bahasa Belanda, tidak terdapat tandatangan-tandatangan), dapat disebut sebagai Draft Pertama.
2. Naskah Peletakan Batu Pertama tertanggal 13 September 1899 (dalam bahasa Latin, tidak terdapat tandatangan-tandatangan), dapat disebut sebagai Draft Kedua.
3. Naskah Peletakan Batu Pertama tertanggal 17 September 1899 (dalam bahasa Latin, ditandatangani oleh 13 orang), dapat disebut sebagai Dokumen Otentik.

Melihat adanya perubahan penggunaan bahasa dalam manuskrip, dari bahasa Belanda menjadi bahasa Latin, bahasa resmi Gereja Katolik, dan terdapatnya tanda tangan dalam naskah, mungkin dapat dijelaskan begini: semula peletakan batu pertama pembangunan gedung gereja di Tempelstraat (sekarang Jalan Kepanjen) direncanakan untuk dilakukan pada 16 Agustus 1899. Namun rupanya belum siap, dan diundur pada 13 September 1899. Tetapi ini juga belum siap. Akhirnya, setelah mengalami dua kali penundaan, peletakan batu pertama dilakukan secara resmi pada 17 September 1899. Dokumen peletakan batu pertama tertanggal 17 September 1899 ditandatangani oleh 13 orang, yaitu: Pastor Paroki bersama 4 pastor yang lain (P.J. van Santen, F.J. Ellerbeck, H. Fisscher, Nolthenius de Man, N. Visser ), Dewan Paroki 4 orang (P.H. Coors, F. van der Mendens, C. Welter, G. van Traken), Gubernur Provinsi (H.W. van Ravenswaag), Pimpinan Militer (A.W.G. Schener), Asisten Residen (diwakili oleh Thomas C), dan Arsitek (W. Westmaas). Berikut adalah copy manuskrip peletakan batu pertama tertanggal 17 September 1899:





Terjemahan Naskah 

"Deskripsi Singkat Pembangunan Gereja Katolik Roma yang Baru di Surabaya”

1) Gereja lama, yang dibangun pada tahun 1822 sudah perlu sekali untuk diganti dengan bangunan gereja yang baru, terutama setelah Juni 1867 ketika terjadi gempa bumi yang besar di Jawa Tengah. Gempa tersebut telah mengakibatkan bangunan gereja mengalami retak-retak horisontal sepanjang pintu jendela; tetapi setelah dipasang penyangga-penyangga dari besi, gereja masih bisa digunakan.

2) Mencari sebidang lahan untuk dibeli. Keputusan Pemerintah nomor 28 tertanggal 4 Pebruari 1889 menyatakan bahwa ijin diberikan untuk membeli sebidang lahan baru.

3) Tidak lama setelah lahan tanah dibeli, muncullah masalah-masalah teknis yang luar biasa, yang pada dasarnya menimbulkan keraguan mengenai kondisi bawah tanah lahan yang telah dibeli itu apakah cukup stabil untuk menyangga sebuah bangunan gereja yang cukup besar. Di beberapa titik lokasi dilakukan pengujian beban, tetapi hasilnya tidak memberi harapan. Hal ini mengakibatkan kekecewaan orang-orang karena menyadari bahwa pembangunan tertunda-tunda terus. Akhirnya dilakukan sebuah percobaan dengan menanamkan pipa-pipa besi. Lalu menjadi jelas, walau tak seorang pun mengharapkan, bahwa 16 meter di bawah permukaan tanah terdapat lapisan tanah yang cukup stabil untuk menyangga bangunan yang diharapkan. Melihat kenyataan itu maka sebuah rencana proyek dibuat pada tahun 1890 untuk membangun gedung gereja baru. Dalam proyek ini orang mempertimbangkan kebutuhan untuk menggunakan tiang-tiang pancang sebagai pondasi bangunan gereja. Mengenai cara bagaimana tiang-tiang pancang ini ditanamkan ke dalam tanah, terdapat banyak pendapat yang berbeda di kalangan ahli, dan karena itu permulaan untuk pekerjaan konstruksi tertunda-tunda terus.

Pada sekitar bulan September 1898 negosiasi-negosiasi mulai dilakukan oleh dewan pengurus gereja dengan arsitek W. Westmaas di Semarang. Rancangan proyek yang dibuat pada tahun 1890 oleh Kaelswit disusun lebih teliti lagi oleh W. Westmaas. Rancangan utama tetap, namun banyak detil yang perlu diubah. Setelah pembicaraan-pembicaraan yang lebih rinci dengan dewan pengurus gereja, maka sebuah kontrak ditulis, dimana arsitek W. Westmaas ditugaskan untuk membangun gedung gereja baru.

Setelah banyak gambar detil siap, mulailah dilakukan penggalian tanah pada 5 April 1899, dan pada 12 April setelah sebagian tanah disingkirkan tiang pancang pertama ditanamkan ke dalam tanah. Ketika tiang-tiang pancang ditanamkan ke dalam tanah, terbuktilah kebenaran hasil percobaan yang dilakukan sebelumnya dengan menancapkan pipa-pipa besi, karena semua tiang pancang setelah mencapai kedalaman 16 atau 17 meter di bawah permukaan tanah barulah menjumpai lapisan tanah yang keras. Untuk seluruh operasi pemancangan 709 tiang digunakanlah kayu galam. Kayu-kayu itu didatangkan dari Kalimantan. Tiang pancang terakhir ditanamkan ke dalam tanah pada 15 Juli. Dengan segera diletakkanlah di atasnya lantai pondasi berupa lapisan batu padas. Kemudian pada tanggal 16 Agustus 1899 secara meriah dan dihadiri oleh banyak pihak tanah diberkati dan diletakkanlah batu pertama bersama kotak berisi naskah dokumen mengenai pendirian gereja.

Sementara bagian-bagian yang diukir dan dipesan di Eropa didatangkan kemari, tiang-tiang penyangga didirikan, dan penyusunan batu bata dilangsungkan. Seluruh bangunan dibuat dengan batu bata, di bagian luar warna alami dari batu bata dipertahankan; bagian dalamnya diplaster dan dicat warna kalkarium yang berbeda-beda. Bingkai jendela, jendela, pintu, atap dan menara terbuat dari kayu jati dan dikerjakan di lokasi pembangunan gereja; atap dan menara ditutupi dengan sirap dari kayu besi. Bagian-bagian yang dari besi untuk penahan dan semacamnya dikerjakan di lokasi, sementara itu hiasan-hiasan dari besi, kunci dan engsel, kandeliar gas dan menara di buat di Eropa; lantainya dibuat dengan ubin mosaik Eropa.

Panjang axis di dalam gereja adalah 47,60 meter, lebar rentang salibnya 30,70 meter, dan lebar transep-nya 12,70 meter. Tinggi dari lantai sampai bubungan gereja adalah 17,40 meter; puncak dari bubungan setinggi 21 meter dari lantai, dimana dua salib yang terpancang di atas dua menara menjulang sekitar 40 meter dari tanah. Kubah di dalam gereja merupakan kubah barel, yang berpotongan dengan busur dan tulang rusuk diagonal dan menjadi tampak seperti sebuah kubah salib. Langit-langit di atas panti imam dibentuk seperti sebuah kubah bintang, dan bagian terendah dari menara-menara, yang ruangnya dirancang sebagai kapel pembaptisan, memiliki kubah-kubah salib kecil. Di menara-menara digantungkan tiga (3) lonceng, yang salah satunya dalam hari-hari ini akan dihubungkan dengan jam yang akan tiba dari Eropa.

Seluruh bangunan dirancang sebagai sebuah bangunan bergaya gotik, dalam bentuk yang sederhana; perabotan di dalam gereja seperti bangku-bangku, ornamen-ornamen gas dan sebagainya dibuat dalam bentuk yang serupa.


Sumber: Manuskrip Kepanjen “Korte omschrijving van de stichting de nieuwe Roomsch Katholieken Kerk te Soerabaja”.
Penterjemah: Ev. E. Prasetyo CM, dengan bantuan Henk Hippolyte de Cuijper CM.
Tianjin, 10 September 2013


Monday, September 14, 2015

Mengenai Arsip Notulen Rapat Dewan Pengurus


MENGENAI NOTULEN KERK EN ARM BESTUUR SOERABAIA



CATATAN TENTANG NOTULEN RAPAT

Pada awalnya (sejak 1826) rapat-rapat “Kerk en Arm Bestuur” (Dewan Pengurus Gereja dan Amal) diadakan dan dicatat dalam Notulen, bisa 2-3 kali sebulan. Lama-lama hanya sekali sebulan. Bahkan kemudian setahun hanya beberapa kali atau malah hanya sekali setahun. Ada yang 1-3 tahun tidak ada notulen (Januari 1832 – Agustus 1834; April 1840 – Nopember 1844; Oktober 1845 – Maret 1848; Agustus 1875 – September 1877; Januari 1879 – Januari 1881; Nopember 1882 – Pebruari 1884; Juli 1892 – Oktober 1894; Nopember 1896 – April 1898; Agustus 1907 – Desember 1908; Januari 1924 – Pebruari 1925; Agustus 1928 – Oktober 1930; Mei 1933 – Agustus 1935), yang bisa diartikan tidak ada rapat.

Demikian juga tandatangan pengesahan notulen. Notulen biasanya ditandatangani oleh pastor Paroki sebagai ketua (voorzitter) dan sekretarisnya. Tetapi ada juga yang hanya ditandatangani oleh Ketua saja atau Sekretaris saja. Malah ada masa sekitar 25 tahun (1874 – 1899) dimana cukup banyak notulen (35 notulen) tidak (tidak dirasa perlu) ditandatangani.

Konflik-konflik dan masalah seputar “Groof Affair” tercermin juga dalam buku notulen, antara lain dengan tidak hadirnya pastor yang terlibat, dan bahkan tiadanya notulen, yang dapat diartikan tidak adanya rapat. Pada arsip "Notulen Buku I", misalnya, terdapat kekosongan notulen antara 20 Maret 1840 sampai 8 Desember 1844, juga antara 30 September 1845 sampai 12 April 1848.

NOTULEN Buku I: tanggal 29 Mei 1826 s/d tanggal 18 April 1849 (berjumlah 61 notulen)

NO
TANGGAL
HADIR
Tanda Tangan
President
Kerkbestuur
Armbestuur
1
29 Mei 1826
H. Waanders
P.J. Timmermans & J.B. van de Velde
J.D. Halewyn & A.J. Haarmans
Waanders, Halewyn (secretaris)
2
3 Juli 1826
Ketua dan semua anggota hadir
Waanders, Halewyn (secretaris)
3
18 Juli 1826
idem
idem
4
7 Agustus 1826
idem
idem
5
21 Agustus 1826
idem
idem
6
26 Agustus 1826
idem
idem
7
4 September 1826
idem
idem
8
18 September 1826
idem
idem
9
2 Oktober 1826
idem
idem
10
17 Oktober 1826
idem
idem
11
6 Nopember 1826
idem
idem
12
5 Desember 1826
idem
idem
13
12 Desember 1826
absen
J.B. van de Velde
J.D. Halewyn & A.J. Haarmans
van de Velde, Halewyn, Haarmans
14
8 Januari 1827
H. Waanders
idem
idem
Waanders, Halewyn
15
5 Pebruari 1827
idem
idem
16
5 Maret 1827
idem
van de Velde, Halewyn
17
2 April 1827
A. Thijssen (Waanders absen)
J.B. van de Velde
J.D. Halewyn & A.J. Haarmans
A. Thijssen, Halewyn
18
10 Mei 1827
idem
idem
19
5 Juni 1827
A. Thijssen
J.B. van de Velde
J.D. Halewyn & A.J. Haarmans
A. Thijssen, Halewyn
20
11 Juli 1827
A. Thijssen
J.B. van de Velde, Browne
J.D. Halewyn & A.J. Haarmans
A. Thijssen, Halewyn
21
6 Agustus 1827
idem
idem
22
3 September 1827
idem
idem
23
3 Oktober 1827
idem
idem
24
5 Nopember 1827
idem
idem
25
11 Desember 1827
absen
Browne
J.D. Halewyn & A.J. Haarmans
idem
26
7 Januari 1828
A. Thijssen
J.B. van de Velde, Browne
idem
idem
27
6 Maret 1828
absen
Th. Browne
idem
Browne, Halewyn
28
30 Juni 1828
A. Thijssen
idem
idem
A. Thijssen, Halewyn
29
2 Oktober 1828
idem
idem
idem
idem
30
8 Desember 1828
idem
idem
idem
idem
31
4 Maret 1829
idem
idem
idem
idem
32
25 Mei 1829
Ketua dan semua anggota hadir
idem
33
16 Oktober 1829
idem
idem
34
25 Pebruari 1830
A. Thijssen
Th. Browne
J.D. Halewyn & A.J. Haarmans
idem
35
8 Oktober 1830
idem
idem
idem
idem
36
10 Juni 1831
A. Thijssen
Th. Browne
absen
A. Thijssen, Halewyn
37
4 Desember 1831
idem
idem
J.D. Halewyn
idem
TIDAK ADA NOTULEN
38
20 September 1834
A. Thijssen
Th. Browne
A.J. Haarmans
Thijssen, Browne
39
7 Desember 1834
A. Thijssen
Th. Browne & J.B. van de Velde,
absen
Thijssen, van de Velde
40
8 Maret 1835
A. Thijssen
Th. Browne & J.B. van de Velde,
De La Costa de Watermalen
Tanpa TT
41
17 Mei 1835
idem
idem
idem
Thijssen, van de Velde
42
4 Oktober 1835
idem
idem
idem
idem
43
6 Maret 1836
idem
idem
idem
idem
44
8 Mei 1836
A. Thijssen
Th. Browne & J.B. van de Velde,
De La Costa de Watermalen
Thijssen, van de Velde
45
11 September 1836
idem
idem
idem
idem
46
13 Nopember 1836
idem
idem
idem
idem
47
16 April 1837
idem
idem
absen
idem
48
27 Agustus 1837
idem
idem
absen
idem
TIDAK ADA NOTULEN
49
11 Maret 1838
A. Thijssen
Th. Browne
A.F. van Essel
Thijssen, Brown, van Essel
50
30 Maret 1838
idem
idem
idem
Thijssen, van Essel
51
17 Mei 1838
idem
idem
idem
Thijssen
52
5 Juli 1838
Ketua dan semua anggota hadir
Thijssen & (?)
TIDAK ADA NOTULEN
53
Desember 1839
Ketua dan semua anggota hadir
Tanpa TT
54
20 Maret 1840
A. Thijssen
Th. Browne (bendahara)
T.J.H. Baijer (sekretaris)
Thijssen, Baijer, Browne
TIDAK ADA NOTULEN
55
8 Desember 1844
J.A. Van Dijk
Th. Browne (bendahara)
T.J.H. Baijer (sekretaris)
Van Dijk, Brown, Baijer
56
23 Pebruari 1845
J.A. Van Dijk
Th. Browne (bendahara),
T.J.H. Baijer, J.B. Borst, H.W.C. de Roock (sekretaris)
Tanpa TT
57
14 Agustus 1845
H.J. Cartenstat
Th. Browne (bendahara),
T.J.H. Baijer, H.W.C. de Roock (sekretaris)
Cartenstat, Brown, Baijer, de Roock
58
30 September 1845
Semua anggota hadir
Tanpa TT
TIDAK ADA NOTULEN
59
12 April 1848
N. Moonen
Th. Browne (bendahara),
T.J.H. Baijer, H.W.C. de Roock (sekretaris)
Tanpa TT
60
6 September 1848
N. Moonen
Th. Browne (bendahara),
J.F.J. Karthaus, H.W.C. de Roock (sekretaris)
Tanpa TT
61
18 April 1849
N. Moonen
J.F.J. Karthaus, H.W.C. de Roock (sekretaris)
Tanpa TT

ev. e. prasetyo cm

Kepengurusan Gereja Pada Abad 19


Dewan Pengurus Gereja Katolik Roma
Roomsch Katholijke Kerk en Armbestuur




Buku arsip korespondensi dan catatan-catatan rapat (notulen) yang masih tersimpan baik di “Kearsipan Kepanjen”, memberikan gambaran organisasi kepengurusan Gereja Katolik di Surabaya pada abad 19. Kepengurusan Gereja Katolik atau pada waktu itu dikenal dengan sebutan “Roomsch Katholijke Kerk en Armbestuur” (Dewan Pengurus Gereja Katolik Roma dan Amal), mempunyai struktur umum yang sederhana, terdiri atas: Ketua (President, atau Voorzitter), Sekretaris (Secretaris), Bendahara (Thesaurier, atau Penningmeester), dan Anggota (Leden). Ada kalanya ditambahkan “Wakil Ketua (Onder-voorzitter)”. Ketua biasanya dijabat oleh pastor kepala paroki, Wakil-Ketua dijabat oleh pastor-pembantu, sementara yang lainnya oleh kaum awam. Dari buku-buku arsip Korespondensi dan Notulen (1826 - 1936), kita mendapatkan gambaran kepengurusan sebagai berikut:


Roomsch Katholijke Kerk en Arm Bestuur (1826 – 1848)

1826 – 1840
President (pastor)
Kerk Bestuur (2 orang awam)
Arm Bestuur (2 orang awam)
Salah seorang awam ditunjuk menjadi Sekretaris
Notulen rapat-rapat ditandatangani oleh President sebagai pemimpin rapat (voorzitter) dan Sekretaris.

1840 – 1848
Voorzitter (Ketua, dipegang oleh Pastor)
Secretaris (Sekretaris, dipegang oleh seorang awam)
Thesaurier (Bendahara, dipegang oleh seorang awam)
Leden (Anggota, terdiri atas beberapa awam)


Roomsch Katholijke Kerk Gemeente (1849 – 1923)

1849 – 1852
Pastoor: N. Moonen
Kapellaan: M. Kooij OFMCap
Koster: G. de Los Angelos

Roomsch Katholijke Kerk en Armbestuur
Voorzitter: Past. N. Moonen
Thesaurier: Th. Browne
Secretaris: H.W.C. de Roock
Leden: F. Baijer & J.F.J. Karthaus


1852 – 1856
Pastoor: Past. N. Moonen
Kapellaan: Past. C. de Hesselle
Koster: G. de Los Angelos

Roomsch Katholijke Kerk en Armbestuur
Voorzitter: Past. N. Moonen
Onder-voorzitter: Past. C. de Hesselle
Thesaurier: Th. Browne
Secretaris: R.G.J. Schrant
Leden: J.F.J. Karthaus, J. Buchler, P.J.A. Kervel, J. Kroon

1856 – 1860
Onderpastoor: Past. H.J.C. Franssen
Koster: G. de Los Angelos
Organist: J.J. Bergmans

Roomsch Katholijke Kerk en Armbestuur
Waarnemen Voorzitter: Past. H.J.C. Franssen
Onder-Voorzitter: A. van Delden
Thesaurier: F.B. Karthaus
Secretaris: J.A. Kocken
Leden: W.F. Karthaus, , H.J. Reekers, H. Carton,


1860
Pastoor: M. van den Elzen
Onderpastoor: J.B. Palinckx
Koster: G. de Los Angelos
Organist: J.J. Bergmans

Roomsch Katholijke Kerk en Armbestuur
Voorzitter: M. van den Elzen
Onder-Voorzitter: P.J.A. Kervel
Thesaurier: H.J.E. Everard
Secretaris: F. W. de Rijk
Leden: M. Sloot, S.H. Eerdinans, J.H.E. Melchers, C. Welter


1875 – 1877
Voorzitter (Ketua, dipegang pastor Kepala Paroki)
Thesaurier (Bendahara, dipegang seorang awam)
Secretaris (Tugas Sekretaris dipegang seorang pastor)
Leden (anggota, beberapa orang awam)

1877 – 1936
Voorzitter (Ketua, dipegang pastor Kepala Paroki)
Secretaris & “Penningmeester” (Sekretaris & Bendahara, dipegang rangkap oleh seorang pastor)
Leden (anggota, beberapa orang awam)
Istilah “Penningmeester” (bendahara) dipakai sejak Desember 1918



ev. e. prasetyo cm

Daftar Misionaris Dengan Riwayat Singkat


DAFTAR MISIONARIS DI SURABAYA ABAD 19 (Dengan Riwayat Singkat) 
Sumber: Karel Steenbrink. Catholics in Indonesia: a documented history, Vol. I: 1808-1900. Leiden: 2003, p.469-482

Catatan: Dalam daftar Steenbrink, nama-nama seperti Cartenstat, Godhardt, Palinckx tidak tercantum.